Minggu, 28 Maret 2010

In Memoriam Benny Moerdani Sosok Intelijen Yang Misterius

MINGGU sekitar pukul 01.00 WIB, Jenderal (Purn) Leonardus Benny Moerdani mengembuskan napasnya yang terakhir di RSPAD Gatot Subroto Jakarta.

Siang harinya Presiden Megawati Soekarnoputri didampingi suaminya, Taufik Kiemas, tiba di Markas Besar Angkatan Darat Jalan Veteran untuk melayat jenazah mantan menhankam/ pangkomkamtib tersebut, yang disemayamkan di Ruang AH Nasution.

Megawati yang menggunakan kebaya oranye muda disambut KASAD Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu dan langsung masuk ke Ruang AH Nasution. Di tempat itu juga telah tampak mantan presiden KH Abdurrahman Wahid beserta istrinya, Ny Sinta Nuriyah. Hadir pula mantan capres dari Partai Golkar Jenderal (Purn) Wiranto yang juga mantan menhamkam/ pangab.

Keempat tokoh tersebut, Megawati, Wiranto, Gus Dur, dan Ryamizard didampingi oleh Taufik Kiemas dan Ny Sinta Nuriyah tampak duduk berdampingan di dekat jenazah LB Moerdani, yang dikenal sebagai tokoh kunci dalam pembentukan Badan Intelijen Nasional itu.

Sejumlah pejabat dan mantan pejabat militer juga hadir, antara lain, Kepala Bapennas Kwik Kian Gie, mantan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, Gubernur DKI Sutiyoso, dan mantan KSAD Wismoyo Arismunandar,

LB Moerdani meninggal di RSPAD Gatot Subroto akibat stroke. Dia meninggalkan seorang istri, satu putri, dan lima cucu.

Berbicara mengenai almarhum, orang tidak dapat melepaskan dari kiprahnya di panggung politik nasional yang penuh dinamika. Benny yang pernah menjadi orang nomor satu di tubuh TNI, saat menduduki jabatan Panglima ABRI 1983 pernah membuat berbagai manuver yang sering dicurigai baik oleh kawan maupun lawannya.

Pria kelahiran Cepu, Jateng, 2 Oktober 1932 tersebut mengawali kariernya di AD saat masih bernama TKR di Solo akhir 1945. Selanjutnya kiprah dia di AD memang sangat menonjol sebagai prajurit yang tangguh, profesional, ditunjang dengan keberaniannya yang menjurus nekat.

Dari penuturan rekan-rekan sejawatnya, diketahui bahwa Benny dalam sebuah pertempuran saat operasi 17 Agustus 1958 di Sumatera pernah bergerak terlalu cepat mengejar musuh yang lari, sehingga jaraknya dengan pasukan induk hingga beberapa kilometer.

Padahal Benny hanya bersenjatakan senapan mesin ringan dengan amunisi yang terbatas. Namun bisa membuat musuh mengira sedang dikejar oleh pasukan berkekuatan penuh. Saat itu RPKAD memang belum sekuat dan terlatih seperti Kopassus saat ini.

Bahkan, ada cerita, saat akan diterjunkan pada operasi penumpasan pemberontakan PRRI tersebut, banyak anggota RPKAD yang belum benar-benar bisa terjun, termasuk juga Benny yang saat itu berpangkat letnan.

Begitu prestasinya didengar oleh petinggi AD, Benny akhirnya sering diterjunkan pada operasi-operasi militer yang penting dan sangat berisiko. Pada saat Trikora, dia dengan pangkat kapten ditunjuk sebagai komandan pasukan RPKAD yang diterjunkan di daerah musuh.

Terjunnya Benny di belantara Papua sangat merepotkan pasukan pendudukan Belanda. Karena dia sering melakukan serangan mendadak dan kemudian segera menghilang. Namanya pun menjadi legenda, dan Belanda makin dipusingkan olehnya.

Ada sebuah cerita pada saat Belanda melakukan penyergapan terhadap pasukan Benny di hutan, dia berhasil lolos. Namun pakaian tempurnya tertinggal. Sebagai alat untuk mengobati kejengkelan mereka kepada Benny, baju tempur itu dipasang di sebuah kayu, dan dijadikan untuk sasaran latihan menembak dan melempar pisau.

Kisah itu juga sampai ke telinga Presiden Soekarno. Sehingga saat operasi telah selesai, Bung Karno langsung menganugerahkan bintang jasa kepada Benny dan kenaikan pangkat dari kapten menjadi mayor.

Woyla dan Pangab

Saat Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, nama Benny menanjak lagi. Yaitu saat operasi penumpasan kelompok teroris Imran yang membajak Pesawat Garuda Woyla. Benny yang saat itu menjabat Asintel Panglima ABRI serta Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS) dengan pangkat letnan jenderal langsung mengirimkan pasukan Kopassus yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan.

Akhirnya operasi penumpasan pembajakan di Bandara Don Muang Bangkok itu bisa dilaksanakan, walaupun merenggut nyawa pilot Herman Rante dan anggota Kopassus Lettu A Kirang. Keberhasilan operasi Woyla itu sampai ke telinga Presiden Soeharto.

Atas jasa Benny yang dinilai Soeharto telah mampu menjaga nama bangsa di kancah internasional, dia langsung mengangkat menjadi Panglima ABRI menggantikan Jenderal M Yusuf. Penunjukan Benny yang dalam kategori junior menjadi panglima ABRI memunculkan banyak tuduhan.

Karena di sisi lain ada seorang senior, yaitu Letjen Himawan Sutanto yang menjabat sebagai Kepala Staf Operasi Panglima ABRI. Himawanlah yang selama ini membawahkan Benny. Menjelang pengangkatan Benny, muncul isu-isu yang tidak sedap. Yaitu, pembajakan teroris tersebut adalah murni rekayasa Benny melalui BAIS. Dia sengaja menggalang kaum ekstremis Islam untuk dijadikan alat merekayasa prestasi-prestasinya dan menyudutkan umat Islam.

Operasi penumpasan teroris itu dilakukan Benny sendirian tanpa koordinasi dengan M Yusuf selaku pangab. Serta Benny melakukan potong kompas itu karena untuk menyelamatkan posisinya yang belum pernah menempuh pendidikan Seskoad atau Lemhanas serta menjabat panglima kodam. Yang jelas pengangkatan dia menimbulkan kecemburuan di kalangan perwira tinggi AD.

Para wartawan tentu akan menanyakan hal ini kepada Benny. Dan Benny sudah mengantisipasinya, sehingga saat dia akan dilantik menjadi Panglima ABRI oleh Soeharto, langsung pasang muka angker kepada para wartawan. Dia bahkan ''membentak'' wartawan yang berani mendekatinya untuk memotret.

Saat dia menjabat Panglima ABRI, tidak ada lagi jabatan rangkap sebagai menhankam. Menhankam kemudian dijabat oleh mantan KSAD Jenderal Poniman. Namun dia tetap powerfull. Sebagai panglima, dia menjadi pangkopkamtib, membawahkan BAIS dan mengendalikan Kopassus. Bahkan, saat dia tidak lagi menjadi panglima ABRI (digantikan Try Soetrisno) dan menjadi menhankam (1998), BAIS masih dikendalikannya.

Selama menjabat sebagai panglima ABRI, harus menghadapi peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984. Setelah dicap sebagai orang yang tidak senang atas kekuatan Islam, penanganan kasus Tanjung Priok tersebut makin memosisikan Benny yang beragama Katholik itu berhadapan dengan umat Islam.

Hingga kini peristiwa Tanjung Priok masih menjadi perdebatan, apakah ini murni dari umat Islam yang menentang pemberlakuan asas tunggal, atau rekayasa intelijen untuk maksud-maksud tertentu. Yang jelas hingga kini penyelesaiannya melalui jalur hukum masih diwarnai pro dan kontra.

Dan pemeriksaan terhadap Benny oleh Kejaksaan Agung, karena sakit stroke, tidak bisa dilakukan. Masih banyak misteri yang belum terungkap di balik peristiwa Tanjung Priok. Dari peristiwa Tanjung Priok 1984, beralih kepada Sidang Umum MPR 1988, yang menunjukkan peran besar Benny dalam politik.

Dalam sidang yang agendanya juga akan memilih wakil presiden baru, Benny sudah menyusun strategi untuk menjadikan dirinya sebagai wapres. Namun saat itu dia harus berhadapan dengan Soedarmono SH. Namun rencananya itu dapat tercium Soeharto dan posisinya sebagai pangab langsung digantikan Try Soetrisno.

Dengan posisinya yang bukan lagi sebagai pangab, tentu saja dia tidak bisa lagi mengomando Ketua Fraksi TNI Bambang Triantoro untuk mengeluarkan pernyataan mendukungnya. Akhirnya Benny hanya bisa menyuruh Ibrahim Saleh untuk interupsi saat pengetukan palu tanda pengesahan Sudharmono sebagai wapres.

Padahal, andaikan rencana dia tidak tercium, Benny akan membuat Soeharto sulit menolak rencananya. Misalnya Fraksi TNI secara bulat menyatakan dukungannya kepada Benny selaku Panglima TNI untuk menjadi wapres dengan pertimbangan-pertimbangan reputasinya yang baik selama ini. Bila Soeharto menolak Fraksi TNI, dia akan terkesan sangat otoriter alias tidak demokratis.

Menurut berbagai sumber, Soeharto memang sangat khawatir bila Benny akan menguat, mungkin ini sama halnya ketika M Yusuf juga mulai menjadi legenda di kalangan ABRI saat itu. Juga pernah terbetik isu, Benny pernah menggalang kekuatan kritis untuk menggulingkan Soeharto yang mulai dekat ke kelompok Islam dengan ditandai kehadirannya pada Deklarasi ICMI di Unibraw Malang, sehingga muncul pernyataan Soeharto saat dalam perjalanan ke luar negeri, ''Yang inkonstitusional akan saya gebuk.''

Lepas dari segala pro-kontra, termasuk perannya yang melahirkan ABRI Hijau dan Merah Putih, Benny adalah sosok tentara sekaligus negarawan yang tangguh. Namun ketangguhannya sebagai manusia ada batasnya. Stroke dan infeksi paru-paru menggerogoti tubuhnya, sehingga mengharuskannya menjalani perawatan intensif di RSPAD Gatot Subroto sejak 7 Juli lalu.

Indonesia dan TNI kehilangan sosok Benny Moerdani. Sosok yang terlihat pendiam, tertutup, dan misterius sebagaimana seorang intelijen. Namun percaya atas prinsipnya yang teguh, yang tercermin pada raut wajahnya yang laksana Sphinx. Pantas bila dia diberi penghormatan bendera setengah tiang selama 7 hari. (F4-33t)

Senin, 30 Agustus 2004
Sumber: http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/30/nas05.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar